GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah

Login
Remember me

Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah (GKI SW Jateng)

Info

Jl. Menowosari No. 23-A, Magelang 56114, Jawa Tengah, Indonesia.
+62293-364734
kantorgkisw_jateng@yahoo.com
kantor@gkiswjateng.org


Deskripsi

Gereja Kristen Indonesia atau disingkat dengan GKI adalah kelompok gereja Kristen Protestan yang berdiri di Indonesia dengan kantor pusat berkedudukan di Jakarta. GKI merupakan salah satu gereja dengan Teologi Ekumenikal dengan denominasi Calvinis. Gereja ini juga merupakan anggota-anggota dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Dewan Gereja-gereja Asia (CCA), Persekutuan Gereja-gereja Reformasi Se-dunia/World Communion of Reformed Churches (WCRC) dan Dewan Gereja-gereja se-Dunia (WCC).


Peta


Unduh Gambar Peta


Sejarah

A. Latar Belakang  Umum Sejarah Gereja di Indonesia

Berbicara tentang latar belakang umum Sejarah Gereja di Indonesia dalam kaitannya dengan keberadaan GKI Jateng, maka kita harus berbicara tentang latar belakang umum Sejarah  Gereja di Nusantara sekitar awal abad ke-20. Sungguh pun demikian, tidak mungkin bahwa segala hal yang berhubungan dengan latar belakang umum tersebut dapat dikemukakan di sini.  Sehubungan dengan itu, maka selanjutnya hanya akan  disajikan beberapa hal yang  dianggap penting.

1.  Perkembangan Politik  di Nusantara

Sampai dengan tahun 1870  luas wilayah kekuasaan penjajahan Belanda di Nusantara belum banyak bertambah dibanding pada masa  Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Wilayah kekuasaan itu  cuma meliputi pulau Jawa, beberapa bagian Sumatera (Barat. Utara,  dan Selatan), daerah pantai Kalimantan, beberapa bagian pulau Sulawesi, kepulauan Maluku, dan  Timor  (Hindia Belanda). Sejak tahun 1870 luas wilayah tersebut berangsur-angsur bertambah;  pada tahun 1873  penjajah Belanda mulai memerangi Aceh, pada tahun 1892  menduduki Irian, dan pada tahun 1905 menaklukkan beberapa kerajaan di Sulawesi (Tengah dan Selatan). Dengan perkataan lain, antara tahun 1890-1910  wilayah kekuasaan Hindia Belanda  meliputi seluruh  Nusantara.

Di wilayah kekuasaannya di Nusantara, sejak  tahun 1905,  pemerintah Hindia  Belanda memang memberlakukan Ethische Politiek yang dialaskan pada pertimbangan moral dan ekonomi.  Namun jelaslah bahwa sejak tahun 1920 cita-cita  Ethische Politiek itu tidak mungkin dilaksanakan, karena tujuan pemberlakuannya bukanlah kemerdekaan  orang-orang pribumi. Di satu pihak kebanyakan orang Belanda tidak mau  menyerahkan kepada orang-orang pribumi  biar sebagian  sekali pun dari kekuasaan politis dan ekonomis yang dipegangnya. Di pihak lain, sebagian golongan orang-orang pribumi tidak puas  kalau hanya mau diberi sebagian saja. Bagi mereka ini, Nusantara adalah milik orang-orang Nusantara  dan  orang-orang Belanda  adalah orang-orang asing belaka.

Pergerakan nasional, dalam artinya yang sesungguhnya, sebenarnya muncul sekitar tahun 1910. Sebelum tahun 1910, sudah barang tentu, terdapat perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Perlawanan tersebut  bersifat kedaerahan dan dijiwai oleh keyakinan agama. Setelah itu, terutama setelah berembusnya semangat kemenangan Jepang atas Rusia  pada tahun 1905 itu, perlawanan mulai bersifat nasional, walau pun  sifat kedaerahan dan  hal dijiwai oleh keyakinan  agama tadi masih ikut berpengaruh pula. Di samping faktor-faktor tadi, terdapat pula faktor ekonomi, yang secara khusus  ada pada para pengusaha pribumi  di samping  pada rakyat kecil yang menderita akibat tatanan ekonomi yang ada, ikut mengobarkan perlawanan tadi. 

2.  Kemajemukan Masyarakat di Nusantara

Seperti telah kita maklumi bahwa  masyarakat Nusantara pada waktu itu terdiri dari  orang-orang pribumi dan orang-orang pendatang. Orang-orang pribumi terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai suku, sekurang-kurangnya berasal dari 350 suku yang tersebar di seluruh pulau di Nusantara; terutama sekali di pulau-pulau besarnya.  Sedangkan orang-orang pendatangnya, yang dikelompokkan menjadi dua golongan,  yaitu golongan Europeanen (orang-orang Eropa) dan Vreemde Oosterlingen (orang-orang Timur-Asing), yang terdiri dari orang-orang yang berasal  dari berbagai bangsa[1]. Orang-orang itu, sudah barang tentu, tidak mungkin dipikirkan lepas dari  budaya  dan adatnya masing-masing,  yang  berbeda satu dari lainnya.

Orang-orang pribumi  pada waktu itu masih banyak yang menganut agama sukunya masing-masing. Sisanya ada yang telah memeluk agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan lain-lainnya. Sedangkan orang-orang pendatang  biasanya memeluk agama yang diwarisinya di  tanah leluhurnya. Khususnya  orang-orang Tionghoa, baik yang disebut kiauwseng  ( totok, yang langsung datang dari Tiongkok) ataupun hoakiauw (peranakan, yang lahir di Nusantara)[2], dapat dikatakan bahwa  kebanyakan dari mereka masih menganut agama yang diwarisinya dari tanah leluhur mereka; terutama sekali  confusianisme. Setelah munculnya neo-confusianisme, aliran ini pun sempat pula mempengaruhi  sebagian dari mereka.

 

Selaras dengan peraturan yang diundangkan pada tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sikap netral di tengah-tengah kemajemukan kehidupan umat-umat beragama di atas. Hal itu dapat dimengerti, oleh karena pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kebijakan liberal, yaitu kebijakan yang memandang semua umat beragama adalah sama dan harus diperlakukan secara sama pula.[3] Karena keterikatan dan tanggungjawab moral  terhadap orang-orang Kristen  yang berasal pada masa VOC,  maka pemerintah Hindia Belanda dalam kadarnya tertentu, misalnya dalam pemberian subsidi bagi sekolah  Kristen,   sering dituduh “menganak-emaskan” orang-orang Kristen.

3.  Berbagai Zending  Bekerja  di Nusantara 

Bila diamati secara seksama, maka akan nampak kepada kita bahwa  pada waktu sekitar  awal abad  ke-20 terdapat berbagai zending dibentuk di Eropa dan Amerika dan yang bekerja di  Nusantara.[4] Di antara mereka ada  yang disebut kerkelijke zending; zending gerejawi,  dan onkerkelijke zending; zending bukan gerejawi, di samping confessioniele zending; zending berpengakuan iman,  dan nonconfessioniele zending; zending yang tidak berpengakuan iman. Di antara mereka ada  yang disebut kerkelijke zending; zending gerejawi,  dan onkerkelijke zending; zending bukan gerejawi, di samping confessioniele zending; zending berpengakuan iman,  dan nonconfessioniele zending; zending yang tidak berpengakuan iman.[5] Harus diakui bahwa  jumlah zending gerejawi dan zending bukan gerejawi serta zending yang berpegnakuan iman  dan zending yang tidak berpengakuan iman  yang  bekerja di Nusantara pada  sekitar awal abad ke-20 adalah  kira-kira seimbang, paling banter jumlah dari kelompok yang disebut pertama lebih sedikit  dari yang disebut berikutnya. Hal yang disebut  terakhir sesungguhnya merupakan gejala umum pada waktu itu.

 

Dilihat dari asal negaranya  maka dapat dikatakan bahwa sebagian terbesar dari jumlah badan zending yang bekerja di Nusantara berasal dari Belanda, misalnya Doopsgezinde Zendingsvereeniging (DZV), Java Comite (JC), Nederlandsch Zendelinggenootschap (NZG),  Nederlandsch Zendingsvereeniging (NZV), Utrechtsche Zendingsvereeniging (UZV), Nederlandsche Gereformeerde Zendingsvereeniging (NGZV),  dan Zending der Gereformeerde Kerken in  Nederland (ZGKN). Sisanya  berasal dari Jerman; misalnya Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) dan Neukirchener Mission (NM), dari Swis; dalam hal ini Basler Mission (BM), dan dari  Inggeris; misalnya Baptist Missionary Society (BMS)  dan London Missionary Society (LMS), dan dari tempat lain lagi.[6]

Dari data tersebut di atas nampak jelas bahwa di antara zending sesungguhnya terdapat keterpecahan. Bahkan sampai dengan akhir abad ke-19 kerjasama di antara mereka masih sangat kurang. Masing-masing memiliki kantor sendiri, majalah sendiri, lembaga pendidikan para calon zendeling sendiri, dan  mencari dana sendiri.  Beruntunglah bahwa di Nusantara tidak terdapat persaingan  di antara mereka: masing-masing bekerja di wilayah tertentu, yang karenanya secara geografis usaha mereka justru saling melengkapi. Hal itu sesungguhnya tidak terlepas dari  peranan tokoh perintis Belanda, J.W. Gunning, yang mendorong berdirinya Sammenwerkende Zendings Corporaties (SZC)[7] pada tahun 1905. 

4.  Hubungan  Zending dengan Pemerintah

Sejak semula  badan-badan zending, terutama para zendeling  mereka, banyak berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda. Demikian pula hal yang sebaliknya. Pemberlakuan  Ethische Politiek dan pemberian  subsidi besar-besaran kepada zending menyebabkan hubungan tersebut semakin menjadi intensif. Namun hal itu bukanlah  berarti bahwa hubungan antara pemerintah  Hindia Belanda dan badan-badan zending  -- yang pengurusnya masing-masing berada di seberang lautan itu --  tidak mengalami kesulitan. Tegasnya banyak juga kesulitan yang ditemui dalam hubungan tersebut.  Hal inilah yang menyebabkan Gunning, tokoh yang telah disebut  di atas, mencetuskan gagasan, yaitu menempatkan seorang wakil zending di Batavia; yang mewakili seluruh badan zending di hadapan pemerintah Hindia Belanda.

Gagasan itu terwujud pada tahun 1906  dengan dibentuknya Zendingsconsulaat (SC). Dengan demikian wakil zending di Batavia tadi disebut zendingsconsul, yang secara formal diangkat oleh Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG). Dan semua badan zending Belanda yang bekerja di Nusantara, termasuk Zending der Gereformeerde Kerken in Nederland, dan sejumlah badan zending luar negeri lainnya  memakai jasa dari ZC tersebut. Hal ini dapat dimengerti oleh karena ZC sangat bermanfaat bagi  para  zendeling  dari  badan-badan zending tersebut, dalam hal bahwa Zendingsconsul dapat membantu para zendeling dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Hindia Belanda, menjadi perantara  antara seorang zendeling dan seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda  bila  di antara  mereka terjadi konflik, dan  lain-lain sebagainya.

Makin lama ZC  makin  banyak diberi kepercayaan oleh  para zendeling ataupun oleh  pemerintah Hindai Belanda. Para zendeling sering menjadikan ZC semacam pimpinan harian yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk dalam perkara-perkara yang mendesak, sedangkan pemerintah Hindia Belanda sering meminta nasihat dari ZC  dalam kaitannya dengan semua hal yang menyangkut kebijaksanaannya terhadap badan-badan zending.  Zendingsconsul  pertama adalah DR. C.W.Th. Baron van Boetzelaer van Asperen en Dubbeldam, 1906-1918.  Ia selain seorang yang terkenal  juga sangat dihormati. Salah seorang pengganti terkenal dari   Van Boetzelaer  -- yang adalah sang teolog ini – adalah Mr. J.M.J. Schepper,  1918-1922. Tanpa membesar-besarkan peranan ZC, namun harus diakui bahwa tanpa ZC  keberadaan badan-badan zending dan pertumbuhan Gereja-gereja di Nusantara sulit dibayangkan.

5. Pertumbuhan Gereja-gereja di Nusantara

Seperti telah kita maklumi bahwa  sebelum badan-badan zending dari luar negeri  seperti tersebut di atas (butir  3) bekerja di Nusantara,   di sini telah terdapat sebuah Gereja  yang

disebut Protestantsche Kerk in Nederland-Indie[8] yang kelak dikenal sebagai Gereja Protestan di Indonesia (GPI).  Terbentuknya GPI tidak lepas dari  peranan raja Belanda, Willem I, yang menggabungkan semua jemaat Protestan di Nusantara menjadi satu badan, yang diberi nama  GPI.  Dan karena terbentuknya GPI tidak lepas dari tangan raja Belanda, maka  dapat dimengerti bila  GPI tidak ubahnya sebagai “Gereja Negara”; atau lebih tepat “alat negara”. Hal itu nampak jelas dari salah satu tugas yang diembannya, yaitu “menegakkan ketertiban serta kerukunan dan memupuk cinta-kasih kepada pemerintah  serta tanah air”. Namun segera perlu ditambahkan bahwa kedudukannya sebagai “alat negara” tersebut sejak awal abad ke-20 pernah diusahakan untuk diakhiri. Dan dari Geredja inilah  di kemudian hari muncul Geredja Masehi Injili Minahasa (GMIM), 1934; Geredja Protestan Maluku (GPM), 1935; Geredja Masehi Injili Timor (GMIT), 1947; dan Geredja Protestan Indonesia bahagian Barat  (GPIB), 1948.

Sementara itu sejak sekitar  awal abad ke-20,  di hampir setiap wilayah telah muncul  jemaat-jemaat  Kristen, sebagai jemaat-jemaat suku  di wilayah tersebut, sebagai “hasil karya” badan-badan  zending. Dan pada  tahun 1920-an,  terutama setelah tahun 1928, karena pengaruh teologis dan politis[9], jemaat-jemaat zending  hampir di setiap wilayah mulai menyatukan diri dan memandirikan diri sebagai Gereja.  Karena itu dapat dimengerti bila sejak tahun 1928  telah muncul bermacam Gereja. Sebagai contohnya dapat disebut  beberapa Gereja, yaitu Huria Kristen Batak Protestan  (HKBP), 1930;  Gredja Kristen Jawi Wetan (GKJW), 1931;  Geredja Kristen Jawa (GKJ), 1931;  Geredja Kristen Pasundan  (GKP), 1934;   Geredja Kalimantan Evangelis (GKE), 1935;  Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee  Djawa Tengah Selatan (THKTKH-KHDTS), 1936[10], dan Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee-Khoe Hwee Djawa Barat  (THKTKH-KHDB), 1938.  Di kemudian hari  tumbuh  pula banyak Gereja, sebagai Gereja yang mandiri, baik yang  muncul dari “hasil karya” badan-badan zending ataupun  dari “hasil perpecahan”.   

6. Gereja-gereja Ingin Mempersatukan Diri 

Keinginan Gereja-gereja  untuk mempersatukan diri mempunyai latarbelakang dan sejarah yang panjang. Untuk sekedar memberikan gambaran tentang hal itu ada baiknya dikemukakan kenyataan-kenyataan sebagai berikut ini. Selama abad ke-19, usaha menuju keesaan  umat Kristen merupakan usaha orang Belanda semata-mata. Kecuali peleburan jemaat Lutheri di Batavia ke dalam GPI  tahun 1854, semuanya merupakan usaha  untuk mendekatkan orang Kristen perorangan, bukan Gereja-gereja. Pada tahun 1851 beberapa orang anggota GPI di  Batavia membentuk Genootschap voor In- en Uitwendige Zending  (GIUZ), lembaga yang sejak tahun 1855 mengelola majalah bulanan Opwekker. Majalah bulanan ini, yang pada tahun 1881  pengelolaannya diambil-alih oleh Nederlandsch-Indische Zendingsbond (NIZB), mempunyai jasa yang besar dalam kaitannya dengan usaha mendekatkan orang Kristen perorangan tadi[11].  Apa yang dilakukan oleh Opwekker  dan NIZB  dalam mendekatkan orang Kristen perorangan tadi berkembang terus sampai meletusnya Perang Dunia II pada 1942.  

Sementara itu juga muncul gagasan-gagasan baru, misalnya yang nampak dalam pendirian ZC dan dalam kegiatan Locale Zendingsraad tertentu, yang berperan  mendinamisasi usaha yang telah ada. Di samping itu,  konferensi  International Missionary Council  (IMC) di Yerusalem, juga berperanan besar dalam hal yang sama. Dalam kegiatan-kegiatan  yang telah disebutkan itu tidak nampak keterlibatan orang Kristen Indonesia[12].  Keterlibatan orang-orang Kristen Indonesia baru nampak kelak misalnya dalam Christen Studenten Vereeniging  (1926) dan  Christen Jonge Vrouwen Federatie (1928). Sungguh pun demikian keterlibatan mereka masih sebatas upaya dalam mendekatkan orang-orang Kristen perorangan, belum mendekatkan Gereja-gereja. Upaya mendekatkan Gereja-gereja (baca pula: jemaat-jemaat)  dimulai di kalangan orang-orang Kristen Tionghoa yang telah mendirikan Bond Kristen Tionghoa (BKT) pada tahun 1926 sebagai wadah kesatuan orang Kristen Tionghoa pada umumnya dan jemaat-jemaat Kristen Tionghoa pada khususnya[13].

Kemudian muncul pula usaha di kalangan-kalangan lainnya, seperti terbentuknya Dewan Permoesjawaratan Geredja-geredja  di Indonesia (Yogyakarta, 1946) yang mewadahi Gereja-gereja di Jawa, Madjelis Oesaha Bersama Geredja-geredja Kristen  (Malino, 1947) yang mewadahi Gereja-gereja di Sulawesi dan Indonesia Timur. Badan  yang disebut terakhir inilah, dengan sekretaris umumnya Ds. J.W. Rumambi,  yang menjadi perintis pembentukan Dewan Geredja-Geredja di Indonesia (DGI)[14].

Seperti kita telah maklumi bahwa DGI akhirnya dinyatakan terbentuknya pada 25 Mei 1950 -- yang  THKTKH Djawa Tengah  ikut  terlibat dalam pembentukannya itu -- “sebagai tempat permusyawaratan dan usaha bersama dari  Geredja-geredja di Indonesia, menuju pada keesaan  Geredja-geredja di Indonesia”.  Tujuan DGI dirumuskan secara tegas dan jelas, yakni “pembentukan Geredja Kristen Yang Esa di Indonesia.” Rumusan ini adalah unik, dalam artian bahwa tidak ada dewan Gereja di dunia  kecuali DGI  yang mempunyai tujuan  seperti itu.  Sungguh pun demikian, karena berbagai rintangan yang dihadapinya[15], sampai dengan tahun 1984  Gereja-gereja anggota DGI belum berhasil  mencapai tujuannya. Evaluasi ulang dalam Sidang Raya DGI X  di Ambon tahun 1984 menghasilkan suatu kesapakatan bahwa  nama DGI diubah menjadi   Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dengan tujuan mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia, dengan  didasarkan pertimbangan teologis  tertentu[16].  Dewasa ini jumlah Gereja anggota  PGI  adalah 74  buah,  dengan catatan setelah  ketiga GKI   (GKI Jabar, GKI Jateng, dan GKI Jatim) pada 1994 menyatakan diri  bersatu dan  menjadi satu Gereja anggota PGI.

B. Latar Belakang Umum Sejarah Gereja di Jawa

Berbicara tentang latar belakang umum Sejarah Gereja di Jawa  (baca: Jawa Tengah dan Jawa Barat), maka pertama-tama  wajib diingat bahwa  hal-hal yang telah dipaparkan di atas (butir A)  juga berlaku di sini. Kemudian lebih jauh akan dikemukakan beberapa hal yang penting  berkenaan dengan latar belakang umum Sejarah Gereja di Jawa tersebut.

1. Keadaan  Masyarakat di Jawa

Sejak abad ke-17, Jawa  merupakan salah satu  daerah yang paling mengalami pengaruh Belanda  di bidang politik dan ekonomi.  Sungguh pun demikian di Jawa Barat pengaruh Belanda di bidang agama, sebab sampai  sekitar tahun 1850 belum pernah ada usaha yang luas dan berkelanjutan  untuk mengabarkan Injil kepada orang bukan Eropa.  Itu berarti bahwa  hampir semua penduduk  asli  Jawa Barat pada waktu itu memeluk agama Islam, sebab  hanya terdapat sekelompok kecil penduduk asli (dalam hal ini: orang-orang Badui) yang masih berpegang pada agama Sunda asli. Selebihnya, yaitu para pendatang  dari Eropa dan dari pulau-pulau lain di Nusantara  ada yang beragama Kristen. Di samping itu, terdapat pula  orang-orang Tionghoa  yang pada tahun 1905 jumlah mereka diperkirakan 127.000 orang itu, yang kebanyakan dari mereka masih menganut agama Tionghoa , terutama sekali confusianisme.

Dilihat dari sudut bahasa dan kebudayaan penduduk asli Jawa Tengah merupakan satu kesatuan. Bila dilihat dari sudut agama, maka terdapat segolongan penduduk yang menjadi penganut Islam yang sadar; mereka kebanyakan berdiam di  bagian utara  Jawa Tengah. Di pihak lain, tradisi kejawen masih kokoh pula; tradisi ini paling bekakar di bagian selatan Jawa Tengah, khususnya di daerah Surakarta dan Yogyakarta. Di luar dari penduduk yang telah disebutkan itu, seperti di Jawa Barat, di Jawa Tengah juga terdapat penduduk pendatang  dari Eropa dan pulau-pulau lain di Nusantara yang beragama Kristen, di samping terdapat banyak pula orang-orang Tionghoa  yang juga kebanyakan masih beragama Tionghoa. Seperti yang terdapat di Jawa Barat, mereka terbagi menjadi dua golongan: golongan singkeh; golongan kiauwseng,  dan golongan peranakan; golongan hwakiauw.

Dalam abad ke-20, di  daerah Jawa Tengah --  sama seperti daerah  Jawa Barat  (dan Jawa Timur) --  terdapat fasilitas pendidikan  dan lain-lainnya yang telah maju. Karena-nya   daerah-daerah itu  pada hakikatnya menjadi tanah yang subur untuk gerakan nasional dan yang setelah proklamasi paling lama bertahan terhadap usaha Belanda untuk menegakkan kembali penjajahannya. Hal itu antara lain nampak dalam kenyataan bahwa gerakan-gerakan  lokal -- yang kemudian  bermuara pada gerakan nasional -- banyak bermunculan di Jawa, di samping bahwa  perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan juga  lahir di sini.

2. Pekerjaan Pelbagai Zending di Jawa

2.1. Pekerjaan Beberapa Zending di  Jawa Barat

Pekabaran Injil di Batavia diusahakan oleh beberapa  zendeling Inggris, oleh Pendeta E.W. King, dan oleh beberapa zendeling lainnya.[17] Karena karya Pendeta E.W. King (1824-1884)  maka di kemudian hari terbentuk jemaat Rehoboth di Jatinegara, yang kini menjadi salah satu jemaat dari GKP. Mr. F.L. Anthing (1820-1883), yang menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Agung,  mengabarkan Injil dengan menghabiskan seluruh harta kekayaannya. Karena karya Mr. F..L. Anthing, maka di kemudian hari tumbuh beberapa “jemaat  Anthing” di sekitar Batavia, yang hampir semuanya kelak menjadi jemaat GKP pula. Atas prakarsa Mr. F.L. Anthing  pula, atau GIUZ yang dipimpinnya,  Gan Kwee, seorang zendeling dari Amoy (Tiongkok Selatan),   sempat bekerja di antara orang-orang Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain  selama tahun 1851-1873. Pekerjaan Gan Kwee ternyata melahirkan jemaat Patekoan  (yang di kemudian hari menjadi salah satu jemaat GKI Jabar) dan beberapa kelompok Kristen di luar Batavia.  Di samping itu perlu pula dicatat, bahwa sejak tahun 1873  di Batavia terdapat seorang pendeta dari Christelijk Gereformeerde Kerk  (yang pada 1892 menjadi Gereformeerde Kerk). Ia-lah yang mendirikan  sebuah jemaat di Kwitang , yang kelak menjadi salah satu jemaat GKI Jateng.  Akhirnya perlu ditambahkan bahwa  kehadiran Kristen  Protestan di Batavia dalam abad ke-20  sangatlah  beragam: Metodis, Baptis, Pentakosta, Adventis, dan lain-lainnya.

Sehubungan dengan pekabaran Injil di Jawa Barat, maka perlu dikemukakan pekabaran Injil yang dilakukan oleh NZV. NZV-lah yang menangani pekabaran Injil di Jawa Barat dengan sungguh-sungguh. Mula-mula NZV hanya diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengabarkan Injil di  daerah-daerah pantai (utara), karena  pemerintah takut akan munculnya huru-hara di kalangan  orang-orang  Sunda asli bila pekabaran Injil NZV dilakukan di daerah-daerah  pedalaman. Namun setelah menteri jajahan di Negeri Belanda turun tangan, barulah NZV diperkenankan untuk mengabarkan Injil di daerah-daerah pedalaman juga: di Cianjur (1863), Bogor (1868), Bandung (1870), Sukabumi (1872), Sumedang (1872), Jatinegara (1884), Tanggerang  (1889), Lebak (1894), dan Tasikmalaya (1898). Dari  keterangan ini nampak jelas bahwa  semula NZV hanya mengarahkan pekabaran Injilnya kepada orang-orang Sunda  asli. Karena kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, maka NZV di kemudian hari juga mulai  mengabarkan Injil di kalangan orang-orang Tionghoa peranakan. Dari pekerjaannya  ini muncullah dua jenis jemaat: jemaat  Tionghoa dan jemaat campuran (jemaat Sunda-Tionghoa). Jemaat jenis kedua inilah yang banyak sekali menimbulkan persoalan[18].

Pada 14 November 1934 jemaat-jemaat  Sunda bekas asuhan  NZV  bersatu dan berdiri sendiri menjadi Gereja Kristen Pasundan. Sedangkan jemaat-jemaat  Tionghoa bekas asuhan  NZV dan zending Metodis  bersatu dan berdiri sendiri menjadi  Tiong Hwa Kie Tok Kauw  HweeKhoe Hwee Djawa Barat  (THKTKH-KHDB)  pada  12 November 1938. Gereja ini berstatus sebagai Khoe Hwee, atau Klasis, karena  diharapkan bahwa di Jawa kelak akan berdiri   THKTKH -  Thay Hwee  Djawa, yang berstatus sebagai Sinode.  Akan tetapi kenyataan pahit berlaku atas Gereja ini, karena salah satu jemaat-bekas asuhan zending Metodis, dalam hal ini jemaat Manggabesar,  sejak 24 April 1939 menyatakan keluar dari THKTKH-KHDB. Jejak jemaat Manggabesar (Batavia) ini kemudian diikuti oleh jemaat-jemaat bekas asuhan zending Metodis lainnya, yaitu jemaat Ketapang  (Batavia) dan jemaat Bogor[19]. THKTKH-KHDB  tetap berdiri dan pada tahun 1954 mengubah statusnya menjadi Sinode, yaitu THKTKH-THDB, yang pada tahun 1958 mengubah namanya menjadi  (Sinode) Geredja Kristen Indonesia Djawa Barat (GKI Djabar, tahun 1972: GKI Jabar). Jemaat-jemaat bekas asuhan zending Metodis tadi pada tahun 1940 membentuk Chung Hua Chi Tuh Chiao Hui (CHCTCH) dan  pada tahun 1958 yang mengubah namanya menjadi (Sinode)  Geredja Kristus  (tahun 1972: Gereja Kristus).

2.2. Pekerjaan Beberapa Zending di Jawa Tengah

Seperti di Jawa Barat, di Jawa Tengah juga ada banyak zending  yang bekerja. Di antara mereka  yang pantas diperhitungkan adalah tiga zending, yaitu   DZV, Zending Salatiga  (ZS), dan  ZGK. Masing-masing zending ini mempunyai ciri-cirinya sendiri. Untuk jelasnya ada baiknya diberikan contoh  dari masing-masing sebagai tersebut di bawah.

 DZV adalah zending konfesional dari aliran Mennonite, yang ditandai oleh ciri menjauhi kehidupan politik dan budaya, memantangkan pemakaian kekerasan, mementingkan otonomi jemaat-jemaat tersendiri, dan mempertahankan disiplin gerejawi yang ketat. Perlu dicatat bahwa dalam hal-hal ini -- kecuali yang kedua – golongan Mennonite tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan aliran pietis yang selama abad ke-19 merupakan unsur penting dalam badan-badan zending Belanda lainnya, kecuali bahwa DZV  hanya mengakui adanya baptisan dewasa yang justru ditolak oleh badan-badan zending Belanda lainnya.

ZS  memperlihatkan ciri-ciri umum zending pietis tetapi dengan warna khas. Warna khas tersebut  nampak jelas dalam kenyataan bahwa  SZ menganut faham faith mission, yaitu bahwa para  zendelingnya tidak bergantung pada sebuah pengurus di tanah air mereka baik secara organisasi maupun secara keuangan. Sama seperti DZV, SZ menekankan otonomi jemaat-jemaat, namun berbeda dari DZV  yang berusaha mendirikan benteng-benteng Kristen yang berupa desa-desa Kristen, karena SZ  justru mementingkan penyiaran Injil yang seluas mungkin. Karena itu  dapat dimengerti bila medan pekabaran Injil DZV  adalah hanya daerah sekitar Gunung Muria, sedangkan lapangan pekabaran Injil SZ membentang dari Tegal  sampai ke Bojonegoro.

Berbeda dari DZV dan SZ, ZGK -- yang bekerja di bagian selatan Jawa Tengah itu -- adalah zending gerejawi. Berkenaan dengan itu azas-azas pekabaran Injilnya ditetapkan oleh  Sinode Gereformeerde Kerken in Nederland pada tahun 1896, yang  berbeda dari azas-azas zending pietis abad ke-19[20].

  1. Tujuan pekabaran Injil adalah pertama-tama kemuliaan Allah,  dan  bukan  me             nyelamatkan jiwa yang menjadi pusat perhatian.
  2. Pelaku pekabaran Injil adalah jemaat  setempat,  dan  bukan  kelompok sahabat zending  atau zending partikulir   seperti  yang  banyak   terjadi pada abad ke-19.
  3. Para  zendeling  haruslah  para pelayan Firman  atau pendeta  yang  berpendidikan  akademis. 
  4. Usaha zending tidak pertama-tama diarahkan kepada  orang-orang perorangan, melainkan  kepa-a sukunya  (bangsanya)  dan  diawali  dari pusat-pusat kehidupan  suku (bangsa) itu[21]
  5. Orang-orang  yang  masuk  Kristen  secepat  mungkin  dikumpulkan jadi  jemaat  yang kedudukannya  setingkat  dengan  jemaat  induknya di Belanda dan perlu sedapat mungkin dilayani oleh  seorang  pendeta  setingkat  dengan  rekannya pendeta utusan Belanda.
  6. ZGK mengadakan perbedaan tajam antara pelayanan Firman  (baca: pengabaran Injil), sebagai pelayanan utama, dan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lainnya, sebagai pelayanan penunjang[22].

Selanjutnya perlu dicatat bahwa  karya DZV di Jawa Tengah menghasilkan dua Gereja.  Pertama, yaitu  Patunggilan Pasamoewan Kristen Tata Indjili ing Karesidenan Pati, Kudus, lan Djepara pada 30 Mei 1940, yang  kemudian diubah menjadi Geredja Indjili di Tanah Djawa (GITD, sejak 1972: GITJ) pada tahun 1956[23].  Kebanyakan anggotanya adalah orang-orang  Jawa. Kedua, Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee - Khoe Hwee Muria, atau THKTKH –Klasis Muria, pada tahun 1939, yang kemudian diubah namanya menjadi Geredja Kristen Muria Indonesia  (GKMI) pada tahun 1958.  Kebanyakan anggotanya adalah orang-orang keturunan Tionghoa.

Sedangkan  karya  SZ menghasilkan sebuah Gereja  yang anggota-anggotanya kebanyakan adalah orang Jawa, yaitu Geredja Kristen Djawa Tengah Utara  (GKDTU,  sejak 1972: GKJTU)  yang terbentuk pada tahun 1937. Gereja ini pada tahun 1949  bersatu  dengan GKJ, namun karena berbagai sebab akhirnya beberapa jemaat asal GKDTU  pada tahun 1953 melepaskan diri dari kesatuan itu  dan menyatakan diri sebagai GKDTU lagi. Sebab-sebab yang dimaksudkan di antaranya adalah:  penyusunan tatagereja yang baru oleh masing-masing tidak terjadi sampai dengan tahun 1953, persoalan harta milik menjadi masalah yang cukup berat dipecahkan, di samping bahwa  di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok[24].

Akhirnya wajib disebutkan bahwa karya ZGK  di  bagian selatan Jawa Tengah  menghasilkan dua Gereja. Pertama, 31 jemaat yang beranggotakan orang Kristen Jawa  membentuk Pasamoewan Gereformeerd Djawi Tengah  pada tahun 1931. Beberapa tahun kemudian sebutan  Gereformeerd  diganti  sebutan Kristen, sehingga namanya menjadi Geredja-gereja Kristen  Djawi Tengah, yang kelak lebih dikenal sebagai Geredja-geredja Kristen Djawa (GKD, pada tahun 1972: GKJ). Kedua, jemaat-jemaat Kristen Tionghoa  di bagian selatan Jawa Tengah  dikumpulkan dalam THKTKH-Khoe Hwee Djawa Tengah Selatan (THKTKH-KHDTS) pada tahun 1936 yang berstatus Klasis. THKTKH-KHDTS ini kemudian bergabung dengan  THKTKH-Khoe Hwee Djawa Tengah  Utara  (THKTKH-KHDTU) menjadi THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah, atau sering hanya disebut THKTKH Djawa Tengah, pada tahun 1945 dengan status Sinode. THKTKH Djawa Tengah inilah yang pada tahun 1956 mengubah namanya menjadi Geredja-gereja Kristen Indonesia Djawa Tengah  (GKI  Djateng, pada tahun 1972: GKI Jateng).

C.Sejarah Gereja-gereja  Kristen Indonesia Jawa Tengah

Sejarah GKI Jateng,  sebagai  sebuah Sinode,  pastilah dimulai  pada tahun 1945  ketika dua klasis  -- dalam hal ini THKTKH–KHDTS   dan THKTKH KHDTU  membentuk  THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah atau THKTKH Djawa Tengah  pada tahun 1945[25]. Sejarah yang dimulai pada tahun 1945 itulah yang akan menjadi  sorotan kita. Sungguh pun demikian,  hal-hal yang telah terjadi sebelumnya -- yang melatarbelakangi  pembentukan  THKTKH  Djawa Tengah -- pantas dikemukakan sebelumnya.  Di samping itu, hal-hal yang terjadi sesudahnya  perlu diberi perhatian yang memadai pula.

1. Pekabaran Injil  di Jawa Tengah

1.1. Pekabaran  Injil Perintisan  oleh Orang Tionghoa

Di atas telah dikemukakan bahwa  selama tahun 1851-1873  di Batavia dan kota-kota lainnya bekerja  seorang zendeling dari Amoy  (Tiongkok Selatan), yaitu Gan Kwee,   atas  nama GIUZ. Ia bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa, baik yang totok maupun yang peranakan. Dalam kaitannya dengan hal ini wajib dicatat bahwa karena karyanya  itu, maka di  Purbalingga  pada tahun 1866  telah dibaptis seorang Tionghoa bernama  Khouw Tek San. Ia ternyata adalah seorang Kristen yang enerjik, yang mempunyai semangat yang berkobar-kobar untuk mengabarkan Injil.

Khouw Tek San  di kemudian hari mengikuti jejak Gan Kwee, dalam arti mengabarkan Injil dengan giat sekali kepada saudara-saudara Tionghoanya. Karena karyanya ini maka pada tahun 1867  di Purbalingga  sekurang-kurangnya telah terdapat 68 orang Tionghoa yang  menerima baptisan kudus, yang kemungkinan besar dilayankan oleh  pendeta ZGK yang bekerja di Tegal. Jadi dengan keterangan ini nampak bahwa perintisan pekabaran Injil di  kalangan orang-orang Tionghoa di Jawa Tengah justru dilakukan oleh orang Tionghoa sendiri. Hanya sayang bahwa  data tentang pekerjaan  orang Tionghoa di kota-kota lain di Jawa Tengah  belum banyak ditemukan.

1.2. Pekabaran Injil oleh Para Zendeling Barat

1.2.a. Pekabaran Injil di Jawa Tengah-Selatan

Seperti NZV di Jawa Barat,  demikian pula ZGK di Jawa Tengah mengkhususkan pekerjaannya kepada orang-orang pribumi. Walau pun ZGK, yang mulai bekerja di Jawa Tengah sejak tahun 1902 itu,  mengkhususkan pekerjaannya di kalangan orang-orang Jawa, namun ia tidak mengabaikan sama sekali orang-orang Tionghoa  yang cukup banyak jumlahnya itu. Karena kebijakan yang dianutnya,  yang menolak pemisahan orang-orang Kristen atas dasar ras, maka ZGK tidak mau mendirikan jemaat-jemaat tersendiri bagi orang-orang Tionghoa.  Namun dalam praktek, orang-orang Kristen Tionghoa membentuk kelompok-kelompok tersendiri berdasarkan azas bahasa  (dalam hal ini: bahasa Melayu)[26].

Di atas dikatakan bahwa ZGK tidak mengabaikan sama sekali orang-orang Tionghoa dalam pekerjaannya. Namun pekerjaan pekabaran Injil di kalangan orang-orang Tionghoa ditanggung oleh jemaat-jemaat Gereformeerd bangsa Eropa di Jateng. Dan yang lebih penting dari itu adalah bahwa karena pekabaran Injil tersebut, maka  kemudian terbentuklah jemaat-jemaat Kristen Tionghoa, misalnya jemaat THKTKH di Sangkrah Surakarta (1933), Bayeman-Magelang (1933), Ngupasan-Yogyakarta (1934).  Mereka ini, seperti telah disebutkan di atas, membentuk THKTKH-KHDTS. Di kemudian hari, jemaat Kwitang -- sebagai  karya  dari pendeta dari Christelijk Gereformeerde Kerk  sejak tahun 1873  itu -- menggabungkan diri dengan THKTKH-KHDTS ini, yang sering juga disebut THKTKH Klasis  Djogdja  itu.

1.2.b. Pekabaran Injil  di Jawa Tengah-Utara

Di atas telah dikemukakan bahwa  di  bagian utara Jawa Tengah  SZ  telah bekerja sejak 1884, setelah Ny. Le Jolle  -- isteri kepala perkebunan di Ngemoh -- menyerahterimakan  pekerjaan pekabaran Injilnya kepadanya. Pantas dicatat bahwa  SZ, seperti halnya ZGK,  awalnya mengkhususkan diri bekerja di antara orang-orang  pribumi (baca: Jawa). Namun di di Semarang  terdapat orang-orang pribumi lainnya  -- misalnya orang-orang Menado, Ambon, dan  Timor --  yang berbahasa Melayu. Untuk mereka juga diadakan kebaktian-kebaktian dalam bahasa Melayu. Dalam kaitannya dengan hal ini, banyak orang Tionghoa menarik manfaatnya; lebih-lebih  setelah didirikan sekolah-sekolah zending  di beberapa kota, misalnya Semarang, Ambarawa, dan Salatiga.

Dalam kaitannya dengan hal yang disebut terakhir, dapat dicatat bahwa  Liem Siok Hie,  yang berasal dari Salatiga dan ayahnya telah lama menjadi Kristen itu,  pada tahun 1920 menjadi penatua-pengajar  di Jemaat Zending  berbahasa Melayu di Mlaten (Semarang). Selanjutnya pada tahun 1932  ia mulai mengadakan suatu kumpulan pekabaran Injil sendiri di rumahnya yang berlokasi di Jalan Plampitan (semarang), khusus untuk orang-orang Tionghoa, sedangkan kebaktian-kebaktian resmi  tetap dilakukan di gedung  gereja di Mlaten. Kumpulan pekabaran Injil tersebut ternyata mendapat tanggapan yang positif dari kalangan orang-orang Tionghoa.  Karena itu dapat dimengerti bila pada tahun 1935  ia dapat membentuk  sebuah jemaat  THKTKH  di Semarang  dan ia menjadi pendeta pertamanya. Tidak berapa lama kemudian di Salatiga dan Blora juga terbentuk jemaat THKTKH, walau pun tidak diketahui secara pasti siapa yang berperanan  penting mengabarkan Injil di sana. Namun  dapat diperkirakan bahwa agaknya Liem Siok Hie juga  mempunyai saham di dalamnya. Lepas dari itu satu hal yang penting dan pasti adalah bahwa pada tahun 1936 ketiga jemaat  THKTKH di atas  -- yaitu jemaat THKTKH  di Semarang, Salatiga dan Blora  -- membentuk  THKTKH –KHDTU.

2. Terbentuknya  THKTKH –Thay Hwee Djawa Tengah

  1. THKTKH-KHDTS  dan THKTKH-KHDTU

Seperti nampak dari uraian-uraian sebelumnya  bahwa pada tahun 1936 terdapat  dua Gereja  Tionghoa di Jawa Tengah  yang berstatus sebagai klasis, yaitu  THKTKH-KHDTS dan THKTKH-KHDTU.  Sebenarnya  pada tahun 1939 muncul sebuah  Gereja Tionghoa  yang baru, dengan status klasis, yang merupakan gabungan dari jemaat-jemaat Tionghoa hasil karya  DZV, yaitu  THKTKH-Khoe Hwee Muria (yang kemudian diubah statusnya menjadi sinode dan pada tahun 1958 mengubah namanya menjadi GKMI).  Perlu diketahui, bahwa munculnya Gereja-gereja yang berstatus klasis tersebut  mempunyai kaitan dengan  hasrat Gereja-gereja Tionghoa di Jawa  -- dalam hal ini  THKTKH-KHDTS,  THKTKH-KHDTU,  dan THKTKH –Khoe Hwee  Jawa Timur (THKTKH-KHDT) -- yang dicetuskan di pertemuan  Purworejo pada tahun 1937  bahwa mereka akan membentuk satu Gereja Tionghoa di Jawa yang berstatus sinode, yaitu THKTKH-Thay Hwee Djawa, yang  juga akan mengikutsertakan THKTKH-KHDB yang akan dibentuk itu[27].

Perlu dicatat bahwa sejak  tahun 1936  jumlah jemaat THKTKH  baik di Jawa Tengah Selatan maupun  di Jawa Tengah Utara  semakin  meningkat. Hal itu antara lain dipengaruhi oleh  pekerjaan Dr. John Sung di Jawa Tengah, yang diwujudkan dalam bentuk kampanye kebangunan rohani, di beberapa kota besar di Jawa Tengah, misalnya  Semarang, Magelang, Yogyakarta, Surakarta, dan Purworejo.  Masa pendudukan Jepang  baik THKTKH-KHDTS  maupun THKTKH-KHDTU, seperti Gereja-gereja lainnya di Indonesia,  banyak mengalami kesulitan. Sungguh pun demikian  pembentukan jemaat-jemaat Tionghoa berjalan terus,  misalnya di Purbalingga (1942), Temanggung (1943), dan Tegal (1944).

  1. THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah

Seperti telah nampak dalam uraian di atas bahwa  pada tahun 1945  di Magelang  dilakukan penggabungan THKTKH-KHDTS dengan THKTKH-KHDTU  menjadi THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah  atau THKTKH Djawa Tengah dengan status sinode[28].  Menurut hemat kami penggabungan tersebut  dilakukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan teologis, politis, dan etnis.  Pertimbangan teologis,  sampai dengan waktu itu; 8 Agustus 1945, THKTKH-Thay Hwee Djawa  yang dicita-citakan pembentukannya oleh pertemuan Purworejo tahun 1937  belum menjadi kenyataan. Di samping itu, latarbelakang teologis keduanya tidak banyak berbeda serta adanya latarbelakang yang sama dari para pengerja di kedua klasis itu. Pertimbangan politis,  pada waktu itu  proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia  akan segera dinyatakan oleh para pemimpin bangsa Indonesia, sebagai  wujud penyatuan dan pemandirian  segala  unsur-unsur bangsa. Pertimbangan etnis,  karena di antara keduanya terdapat rasa persatuan yang  bersumber pada kesamaan etnis, hal yang  secara umum telah nampak  dalam kehidupan orang-orang  Kristen  Tionghoa atau Jemaat-jemaat  Kristen Tionghoa sejak terbentuknya BKT pada tahun 1926.

Pembentukan THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah tersebut  dilengkapi dengan perlengkapan organisatorisnya, yaitu tata gereja (istilah resmi yang digunakan: peraturan gereja),  yang telah disepakati bersama; dengan catatan bahwa tata gereja dimaksud  masih perlu diperbaiki dan disempurnakan. Tata gereja yang diperbaiki dan disempurnakan itulah yang pada  tahun 1950 disahkan dalam Persidangan  Ke-II  THKTKH –Thay Hwee Djawa Tengah di Surakarta. Masih dalam kaitannya dengan pembentukan THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah itu, perlu dikemukakan dua hal yang penting[29].  Pertama, THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah didasarkan pada pengakuan  percaya atas Kitab Suci, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,  sebagai Firman Tuhan, dan atas  Duabelas Pengakuan  Iman Rasuli selaras  dengan apa yang dinyatakan oleh Katekismus Haidelberg.  Kedua,  tata gereja yang digunakan didasarkan pada bentuk pemerintahan-gerejawi  yang disebut presbiterial.  

Dari kenyataan di atas dapat ditegaskan bahwa baik secara yuridis maupun secara praktis THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah pada hakikatnya  merupakan sebuah Gereja yang berdiri sendiri. Itu berarti bahwa ia  harus  membangun dan memperlihatkan jatidirinya sendiri di tengah-tengah  kehidupannya bersama-sama  Gereja-gereja lainnya dan masyarakatnya. Berkenaan dengan itu, ia telah berupaya untuk  menentukan corak ibadahnya sendiri, yang antara lain nampak dalam hal-hal sebagai berikut ini. Ia telah berhasil mengusahakan tata ibadah  yang baru, di samping rumusan-rumusan baru Dasa Firman dan Duabelas Pengakuan Iman Rasuli. Masih berkaitan dengan tata ibadah tersebut  perlu dicatat bahwa ia juga telah berusaha untuk menyusun sebuah buku nyanyian, yang  pelaksanaannya dipercayakan  kepada Pdt. Liem Siok Hie. Sehubungan dengan hal ini, bertolak dari sebuah sumber, satu hal perlu dicatat bahwa  nyanyian-nyanyian yang bercorak pietis  dan atau revival  itu makin lama makin berkurang dalam kasanah nyanyian-nyanyian gerejawinya[30].

3. Pergumulan  THKTKH-Thay Hwee Djawa  Tengah

  1.   Melaksanakan Keesaan dengan  Gereja-gereja  Seetnis

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Gereja-gereja  (Protestan) Tionghoa di Jawa memunculkan kembali  gagasan  untuk menyatukan jemaat-jemaat  mereka di Jawa, bahkan di Indonesia. Karena itu  beberapa tokoh mereka  menyelenggarakan konferensi  di  Jakarta, 25-28 Mei 1948, dengan tujuan  membentuk Dewan Geredja-gereja  Kristen Tionghoa di Indonesia  (DGKTI). Pembentukan  dewan ini diilhami oleh pembentukan  National Christian Council in China  dan Madjelis Oesaha Bersama  Geredja-geredja Kristen  yang telah dikemukakan di depan (butir  A.6).

Ada pun yang menjadi tujuan DGKTI, seperti nampak pada Anggaran Dasarnya, adalah  mencapai keesaan  Gereja-gereja  (Protestan) Tionghoa  di Indonesia  dan menjalin hubungan dengan Gereja-gereja di Indonesia lainnya dan  Gereja-gereja di luar negeri.

Sekitar tahun 1954  DGKTI kehilangan  popularitasnya di antara Gereja-gereja  Tionghoa di Jawa, karena telah banyak mengalami kemerosotan dan kemunduran pada dirinya.   Hal itu di antaranya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,  telah  banyak Gereja  Tionghoa yang  menjadi anggota DGI; dengan pertimbangan bahwa DGI mempunyai tujuan yang  lebih terarah dan sekaligus lebih luas  dibanding DGKTI,  yang dapat memberikan kesempatan dan kemungkinan  untuk melakukan pergaulan dan kerjasama  dalam keesan di Indonesia. Kedua,  bentuk DGKTI sering menimbulkan banyak salah paham di antara Gereja-gereja  dan Jemaat-jemaat anggotanya. Oleh sebab itu  terdapat kekurang-pastian  bagi para anggotanya pada DGKTI dalam membawa dan mengarahkan  para anggotanya  kepada keesaan. Karenanya dapat dimengerti  tiga Gereja Tionghoa di Jawa -- yaitu THKTKH  Djawa Barat, THKTKH Djawa Tengah, dan THKTKH Djawa Timur[31]--  membentuk wadah keesaan baru, dengan tetap  menjadi keterlibatannya secara aktif dalam DGI.

Wadah keesaan yang baru dimaksud adalah Badan Permujawaratan Persatuan Geredjani (BPPG)  pada tahun 1954. Berbeda dengan DGKTI, BPPG  mempunyai tujuan yang lebih praktis supaya dengannya wujud keesaan di antara Gereja-gereja anggotanya dapat dinampakkan.  Hal itu  menjadi jelas dari program-program yang digariskannya  sebagai berikut. Pertama, mengusahakan  Tata  Kebaktian (Liturgi) bersama, yang telah disusun dan disepakati bersama,  untuk digunakan dalam kebaktian-kebaktian hari Minggu  yang sah  di jemaat-jemat Gereja-gereja anggota BPPG. Kedua, mengusahakan penyusunan buku nyanyian gerejawi, yang akan ditangani oleh  Panitia  Buku Nyanyian. Dalam menunaikan pekerjaannya, panitia diberi mandat untuk berhubungan dan bekerjasama dengan Stichting Geestelijke Liederen di  Negeri Belanda. Ketiga,  mengusahakan penyusunan Buku Pemahaman  Iman  (baca: buku katekisasi)  yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam pemberian katekisasi di Jemaat-jemaat  Gereja-gereja anggota BPPG.  Keempat, mengusahakan penelitian tentang sikap orang-orang Kristen terhadap jenazah, yang hasilnya agar dapat digunakan sebagai rujukan dalam Jemaat-jemaat Gereja-gereja anggota BPPG  dalam  menentukan sikap secara bertanggungjawab dan bijak terhadap jenazah. Kelima, mengusahakan penyusunan sebuah buku sejarah  dari Gereja-gereja Tionghoa  di Jawa yang pada hakikatnya telah mempunyai sejarah yang sangat panjang itu dan yang belum pernah  didokumentasikan.

3.2.  Menemukan  Jatidiri di  Tengah  Kehidupan  Bangsanya

Pada waktu BPPG sedang giat-giatya melaksanakan program-program yang telah digariskannya  di atas, maka  BPPG juga dihadapkan pada persoalan  yang tengah berkembang  di tengah  hidup bangsa Indonesia, yaitu persoalan yang berkaitan dengan  “masalah Tionghoa”, yang  muncul sebagai akibat hasil  Konferensi Meja Bundar  antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan  Pemerintah Republik Indonesia (1949), di samping sebagai akibat dari isi Perjanjian  Pemerintah Republik Indonesia  dengan Pemerintah  Republik Rakyat Tiongkok  (1955). Berkenaan dengan  “masalah Tionghoa” tersebut,  maka  BPPG   menggumulkan persoalan:  apakah nama Tionghoa dari ketiga  Gereja anggota BPPG masih dapat dipertahankan, mengingat  akibat  kedua  kesepakatan di atas telah  membawa Gereja-gereja anggota BPPG  untuk merumuskan ulang jatidiri   di tengah kehidupan bangsa Indonesia. Itu berarti bahwa mereka  juga  merumuskan misinya di tengah kehidupan bangsa Indonesia. 

Dalam upaya itu mereka menyadari bahwa  mereka, sebagai Gereja-gereja, harus menemukan dirinya di tengah  kehidupan bangsa dan negara di mana mereka hidup[32].  Bertolak dari hal itu, mereka  menemukan kenyataan bahwa hampir seluruh anggota dari Gereja-gereja anggota BPPG adalah  warganegara Indonesia dan  yang berbahasa Indonesia. Bertolak dari kedua kenyataan itu, mereka menyadari bahwa mereka tidak hanya terbuka  bagi satu golongan etnis saja, melainkan bagi segala golongan etnis yang da di Indonesia. Dengan demikian, mereka telah menyadari jatidiri dan misinya secara baru: bukan lagi dalam konteks  ke-Tinghoa-an, melainkan dalam konteks ke-Indonesia-an.  Selaras dengan kenyataan yang ada ini, maka  BPPG -- dengan demikian pula ketiga Gereja anggotanya -- mulai  mengumulkan perubahan nama  Tionghoa THKTKH  menjadi nama Indonesia: Geredja  Kristen Indonesia.

Sejajar dengan perkembangan yang ada di atas, maka THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah  mulai memikirkan  perubahan  nama bagi dirinya. Usaha itu memuncak dalam persidangan THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah  yang diselenggarakan di Purwokerto  pada tahun 1956. Karena itulah, maka di persidangan inilah  diputuskan  perubahan nama  THKTKH-Thay Hwee Djawa Tengah  menjadi  (Sinode) Geredja-geredja Kristen Indonesia Djawa Tengah (GKI Djateng; tahun 1972: GKI Jateng). Sejak itu maka Gereja ini  menghayati jatidiri  secara baru, dalam konteks ke-Indonesia-annya. Itu juga berarti bahwa ia juga  menghayati misinya secara baru pula.

  1. GKI Djateng Hidup dalam  Suasana Keterbukaan

Dalam kiprah hidupnya nampak jelas bahwa GKI Djateng  menampakkan suasana keterbukaan. Hal itu jelas kelihatan dari beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupannya sendiri, di samping yang berkaitan dengan  hubungan dan kerjasamanya dengan Gereja-gereja lainnya. Hal-hal itu secara singkat dapat dituturkan sebagai berikut:

4.1. Terbuka untuk Kaum Perempuan

Sejak tahun 1960  GKI Djateng telah mempunyai sikap terbuka terhadap  kaum perempuan. Hal itu nampak dengan jelas, misalnya dalam hal bahwa GKI Djateng telah membuka  pintunya bagi kaum perempuan untuk mengemban jabatan  gerejawi, yang di masa  sebelumnya hanya dilayakkan bagi kaum lakilaki  saja itu.

Di banyak Jemaat  di lingkungan GKI Djateng telah diangkat perempuan untuk jabatan gerejawi presbiter (tuatua) atau  diaken (syamas). Di samping itu,  telah banyak  alumnus Sekolah Pekerja Wanita  Kristen di Magelang  yang melayani di beberapa jemaat  di lingkungan GKI Djateng sebagai  Penginjil.  Dengan demikian, maka nampaklah bahwa  kaum perempuan  di GKI Djateng, yang pada waktu itu  merupakan golongan mayoritas di GKI Djateng,  makin lama makin mempunyai peranan yang penting.

4.2. Terbuka untuk Gereja Gereformeerd Lainnya

Seperti telah dikemukakan  di atas bahwa  pada tahun 1936 Gereja Gereformeerd  Kwitang telah menggabungkan diri dengan THKTKH-KHDTS. Di kemudian hari beberapa Gereja Gereformeerd lainnya juga telah menggabungkan diri dengan GKI Djateng, misalnya Gereja Gereformeerd  Cibunut-Bandung (1958)  dan Gereja Gereformeerd Kalisari-Semarang (1960).  Hal itu menunjukkan adanya kekerbukaan  GKI Djateng  bagi Gereja-gereja tersebut.

Adanya keterbukaan tersebut --  atau penggabungan di atas --  sesungguhnya dapat dimengerti  dengan baik, mengingat bahwa  antara pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai hubungan gerejawi, dalam hal ini hubungan historis-konfesional, satu terhadap yang lain, di samping bahwa  pada waktu itu terdapat semacam tuntutan kebutuhan  yang mendesak  tentang perlunya Gereja-gereja tadi menggabungkan diri dengan GKI Djateng.

  1. Terbuka  untuk  Berekumene dengan  Gereja-gereja lain

a. Bertolak dari Kwitang Accoord   (1947),  maka hubungan  antara GKI Djateng dan Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN)  haruslah  berlangsung dalam suasana  baru, tanpa  mengabaikan hubungan historis yang telah ada  pada masa-masa sebelumnya. Maksudnya adalah bahwa  antara GKI Djateng dan GKN, yang  masing-masing berdiri sebagai Gereja yang mandiri dan sebagai Gereja mitra,  harus dapat dilangsungkan   hubungan dan kerjasama   antar Gereja dalam bentuk-bentuk yang baru dalam  suasana partnership in obedience. Dengan demikian, maka  sejak itu GKN tidak berkedudukan sebagai “Gereja ibu”  bagi GKI Djateng, melainkan sebagai mitra. Dalam kaitannya dengan itu sempat diatur hubungan dan kerjasama di bidang pekabaran Injil di Jawa Tengah. Di samping itu, dalam kaitannya dengan pembinaan para anggota gereja  oleh lembaga yang ditangani oleh GKJ dan GKI  Djateng, kehadiran utusan GKN  di dalamnya bermakna  sebagai “kehadiran ekumenis”. 

Hal-hal yang telah disepakati tersebut ternyata, khususnya hubungan dan kerjasama di bidang pekabaran Injil di Jawa Tengah, sampai dengan tahun 1950 belum dapat diwujudkan dengan baik. Sebabnya adalah bahwa situasi  politik yang  ada  pada waktu itu tidak mendukung  untuk itu.  Baru pada tahun 1951, setelah suasana politik  agak kondusif,  hubungan dan kerjasama itu dapat diwujudkan, yang antara lain nampak dalam kenyataan bahwa GKN mengirimkan  beberapa tenaganya ke Jawa Tengah. Dengan Geredja Kristen Djawa, yang mempunyai latar belakang historis dan teologis yang sama,  tetap menjalin hubungan dan kerjasama, yang diwujudkan dalam  perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek bersama; misalnya di bidang  pendidikan  (umum dan teologi), sosial, pembinaan, dan lain-lainnya. 

b. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa GKI Djateng  terlibat dalam BPPG  bersama-sama dengan  GKI Djabar dan GKI Djatim. Untuk meningkatkan  hubungan dan kerjasama  antara ketiganya yang telah ada, terutama untuk mengupayakan  pemecahan persoalan-persoalan penting yang dihadapi bersama, maka pada  dalam konferensi  yang diprakarsai oleh BPPG  yang diselenggarakan di Djakarta, 26-28 Mei 1962, telah dibentuk Sinode Am GKI sebagai pengganti  (baca: peningkatan) dari BPPG. Banyak hal yang telah dilakukan oleh Sinode Am GKI tersebut  yang berkaitan dengan penghayatan keesaan  di antara mereka yang lebih baik. Misalnya, di bidang tata kebaktian ataupun  penyusunan buku-buku nyanyian  yang digunakan dalam kebaktian jemaat-jemaat mereka, kegiatan bersama  yang dirancang dan dilakukan oleh kaum pemuda ataupun perempuan, dan lain-lainnya  memperlihatkan hasil yang baik. Melalui Sinode Am GKI inilah  pula GKI Djateng, GKI Djabar, dan GKI Djatim -- sebagai satu Gereja --  menjalin hubungan dan kerjasama  dengan -- atau dengan perkataan lain:  menjadi anggota --  East Asia Christian Conference (EACC), sejak 1974; Christian Conference of Asia (CCA), World Alliance of Reformed Churches (WARC), dan World Council of Churches  (WCC) sejak tahun 1964.

Setelah mengalami  kehidupan  yang penuh dengan  dinamika, termasuk di dalamnya  kehidupan yang  penuh dengan  optimisme dan kemajuan  di samping kehidupan yang penuh dengan pesimisme dan kemunduran  dalam  mengusahakan keesaan  di antara  ketiga GKI itu 33), akhirnya  pada persidangan Sinode Am GKI   di Ciawi-Bogor, 24-26 Agustus 1988, dinyatakan  penyatuan ketiga GKI itu[33].  Hal-hal yang berkaitan dengan praxis  pewujudan ataupun penghayatan kesatuan itu perumusannya  masih harus direncanakan dan dipersiapkan.  Akhirnya perlu dikemukakan bahwa   dalam sidang  GKI di Lembang-Bandung, 29-31 Agustus 1994,  disepakati  dan diterima deklarasi keanggotaan  GKI dalam PGI  pada  Sidang Raya PGI  Ke-12  yang alan diadakan  di Jayapura pada akhir Oktober 1994: hanya satu GKI yang menjadi anggota PGI dan tidak tiga GKI lagi  seperti semula[34].

c. Seperti  telah dikemukakan di atas, bahwa GKI Jateng  menjadi anggota PGI  dan bahkan menjadi salah satu  dari Gereja-gereja pendiri PGI[35]. Sejajar dengan itu, maka ia juga menjadi salah satu anggota  dan pendiri dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah  Jawa Tengah (PGIW Jateng).  Dalam kaitannya dengan hal ini dapat dikemukakan dua hal penting. Pertama,  dalam PGIW Jateng  tersebut GKI Jateng menjalin hubungan dan kerjasama  dengan banyak Gereja, sekurang-kurangnya pada awalnya dengan  l0 Gereja lainnya: Gereja Kristen Jawa, Gereja Kristen Jawa Tengah Utara, Gereja Isa Almasih, Gereja Injili di Tanah Jawa, Huria Kristen Batak Protestan, Gereja Kristen Muria Indonesia,  Gereja Bethel Injil Sepenuh, Gereja Protestan Indonesia bahagian Barat,  Gereja Pentakosta Pusat Surabaya,  dan Bala Keselamatan.  Kedua, walaupun hubungan dan kerjasama dalam PGIW Jateng tersebut  kadang-kadang tidak berjalan  seperti  yang diharapkan, namun  masih tetap berperiada dan berproses hingga kini.

Masih dalam kaitannya dengan  hubungan dan kerjasama di Jawa Tengah, maka satu hal perlu dicatat  bahwa  banyak Jemaat  GKI Jateng yang  terlibat dalam kehidupan ekumenis dengan  Jemaat-jemaat  dari Gereja-gereja lain di suatu tempat atau kota. Misalnya  dalam  Badan Kerjasama Gereja-gereja Kristen Surakarta, Persekutuan Gereja-gereja Kristen Semarang, Persekutuan Gereja-gereja  di Indonesia  di Yogyakarta), dan lain-lain sebagainya. Di luar badan-badan seperti itu, setelah tahun 1966 juga banyak Jemaat GKI Jateng  yang mempunyai hubungan dan kerjasama dengan Gereja Katolik Roma, walau pun sifatnya masih lokal dan insidental. Lepas dari apakah  keterlibatan tersebut dialaskan pada pemahaman yang mendalam atau tidak, namun satu hal adalam pasti bahwa kebanyakan Jemaat-jemaat GKI Jateng merasakan  perlunya dan menghendaki  adanya hubungan dan kerjasama  dengan Jemaat-jemaat  dari Gereja-gereja lainnya.

 


[1] Pada tahun 1854 dikeluarkan peraturan  pemerintah,  yang disebut Regeringsreglement (RR), yang dalam pasalnya ke-109 diatur  bahwa penduduk di Hindia Belanda dikelompokkan menjadi tiga  golongan suku bangsa. Pertama, golongan orang-orang pribumi  (Inlanders), yang di dalamnya terhisab semua orang yang berasl dari suku bangsa yang terdapat di Nusantara. Kedua, golongan orang-orang  Timur-Asing (Vreede Oosterlingen), yang meliputi  orang-orang  Asia, misalnya  terutama Tionghoa, Jepang, Arab, dan  India. Ketiga, golongan orang-oramng Eropa, yaitu semua orang yang berasal dari suku bangsa yang terdapat di Eropa. Lihat Chris Hartono, Ketionghoaan dan Kekristenan  (Jakarta: BPK GM, 1974), h.29-30.

 

[2] Chris Hartono, Ketionghoaan dan Kekristenan, h. 23-25.

 

[3] Seperti telah dimaklumi bahwa VOC dibubarkan pada tahun 1799.  Sehubungan dengan itu di Hindia Belanda, sama seperti di Nederland, azas-azas Pencerahan hendak digunakan dalam tata pemerintahan. Kepentingan rakyat di Hindia Belanda harus dimajukan dalam segala hal. Dalam kaitannya dengan hal ini, pemerintah Hindia Belanda harus memberlakukan  kebijaksanaan liberal  (baca pula: netral). Sebagai akibatnya , maka pada tahun 1807 pemerintah Hindia  Belanda memaklumkan bahwa  di Hindia Belanda berlaku kebebasan beagama; pemerintah Hindia Belanda akan bersikap netral  di bidang agama, termasuk di dalamnya tidak memihak kepada agama Kristen  (lagi seperti pada zaman VOC). Lihat Th. van den End,  Ragi Carita  1 (Jakarta: BPK GM, 1980), h. 144-145.

 

[4] Untuk memperoleh gambaran konkret tentang  hal itu  lihat misalnya:  Th. Mueller-Krueger, Sedjarah Geredja di Indonesia (Djakarta: BPK, 1956), h. 63-64;  J.L.Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia  II/1 (Jakarta: BPK GM, 1978), 15-16; Th van den End,  Ragi Carita 1, h. 150-151; dan  S. Coolsma,  De Zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie (Utrecht: C.H.E. Breijer, 1901).

 

[5] Sampai kini masih terdapat kesalahpahaman tentang zending-zending yang pernah bekerja di Nusantara di masa lalu, yaitu  bahwa kebanyakan orang berpendapat bahwa  setiap zending pastilah berasal dari Gereja  (kerkelijke zending) dan  berpegang pada pengakuan iman tertentu (confessioniele zending). Tidak semua zending demikian halnya. Benar, ada zending yang berasal  dari Gereja; dalam artian dibentuk, dikelola, dan dibiayai oleh Gereja dan bertanggungjawab kepada Gereja. Zending semacam ini berpegang pada pengakuan Gerejanya.  Jenis zending ini misalnya adalah Zending der Gereformeerde Kerken in Nederland. Namun ada pula  apa yang disebut  zending bukan gerejawi (onkerkelijke zending), yaitu zending yang tidak berasal dari Gereja; tida


Visi

"Gereja Kristen Indonesia Sinode Wilayah Jawa Tengah sebagai Komunitas Mitra Allah menjadi Berkat bagi Indonesia."

 

Penjelasan Visi:

Komunitas berbicara tentang kumpulan yang guyup, akrab, dan bersahabat. Komunitas ini secara spesifik terfokus pada komunitas orang-orang beriman. Inilah komunitas orang-orang percaya yang telah dipanggil keluar dari kegelapan (1 Petrus 2:10). Pernyataan dalam teks ini menunjukkan bahwa anggota komunitas bukanlah orang-orang yang sempurna. Sebaliknya mereka berdosa namun menerima anugerah untuk hidup dalam tuntunan Tuhan.

Komunitas ini dipanggil dan dibentuk Allah untuk menjadi mitra-Nya di bumi yang diciptakan Allah dan dikasihi-Nya. Menjadi mitra Allah berarti melaksanakan misi kerajaan Allah di bumi ini. Secara khusus bagian bumi di mana komunitas itu mengada adalah Indonesia.

 


Misi

  1. Mewujudkan kehidupan yang bertumpu pada Allah Trinitas.
  2. Mewujudkan persekutuan umat intergenerasional yang multikultural.
  3. Meningkatkan kecintaan inklusif anggota jemaat terhadap GKI.
  4. Mengapresiasi dan mengoptimalkan talenta, kemampuan, dan sumber daya demi tercapainya pembangunan jemaat.
  5. Mengembangkan kepemimpinan yang bersahabat.
  6. Terlibat aktif mewujudkan persekutuan ekumenis dan lintas iman.
  7. Terlibat aktif mewujudkan perdamaian, keadilan, dan keutuhan ciptaan.