II Tawarikh 5: 2-14 & Kisah Para Rasul 26: 19-29
Beberapa tahun yang lalu, kami pernah mempunyai tetangga yang sedikit rasis dan fanatik terhadap agamanya. Hal ini kami ketahui setelah pembantu kami bercerita tentang tetangga tersebut. Kami cukup kaget, ketika dalam cerita tersebut, sang pembantu kami mengatakan bahwa istri tetangga tadi bertanya padanya, “Pak Benaya itu orang Jawa atau orang Cina? Kok ia beragama Kristen?” Lalu, sang pembantu kami menjelaskan, bahwa saya ini orang Jawa, itu yang ia ketahui dari keluarga besar ibu saya, sementara istri saya adalah orang Cina. Lalu, istri tetangga tadi berkata, “Pantas, istrinya orang Cina, maka Pak Benaya itu beragama Kristen. Ini pasti karena perkawinan atau mungkin karena ia pernah sekolah, bekerja atau dirawat di Rumah Sakit Kristen, sehingga ia sekarang menjadi Kristen. Sayang ya, padahal ia orang baik.” Itulah hal yang membuat kami sekeluarga kaget, karena ternyata ada orang yang begitu sempit menilai orang lain dengan hanya melihat ras (etnis) dan agamanya.
Sekalipun begitu, cerita ini juga menarik dan semakin menantang kita semua, orang-orang Kristen di Indonesia ini, untuk bertanya, “Apakah pelayanan yang kita lakukan selama ini sungguh-sungguh telah menyentuh hati orang-orang yang kita layani, sebagai bentuk kesaksian kita kepada mereka, ataukah hanya sekedar “mempertobatkan” dan “membawa jiwa kepada Kristus”? Apakah stereotype yang diberikan pada pelayanan kita, seperti oleh mantan tetangga kami tadi, sungguh-sungguh terjadi dan menjadi ancaman buat mereka?” Mari, kita berefleksi diri dengan pengalaman umat Israel pada saat penahbisan Bait Allah dan pengalaman kesaksian iman Paulus di hadapan Raja Agripa.
Dalam bacaan Perjanjian Lama kita, diungkapkan bahwa bagaimana Bait Allah, yang didirikan Raja Salomo bagi Tuhan Allah-nya itu, ditahbiskan untuk menjadi pusat peribadatan umat Israel di mana pun. Bait Allah ini bukan hanya begitu agung secara fisik, tetapi juga secara spiritual, seperti yang terlihat dari pengalaman iman yang dirasakan oleh para imam yang melayani penahbisan tersebut. Hal yang menarik adalah Bait Allah ini menjadi pusat peribadatan bagi umat Israel, dan juga bagi umat-umat lain, bukan karena sekedar titah Raja Salomo, melainkan lebih karena pengalaman iman yang terjadi dan dirasakan umat di sana. Oleh karena itu, Bait Allah ini sendiri telah mengundang orang-orang untuk datang merasakan kemuliaan dan kuasa kasih Allah yang tinggal di dalamnya lebih daripada kemegahan atau keindahan yang menyelimutinya.
Hal yang sama terjadi dalam kesaksian iman Rasul Paulus ketika ia diminta untuk membela kasusnya di depan pengadilan Raja Agripa dan Festus (Wali Negeri Kaisarea). Dalam kesaksian tersebut Paulus bercerita tentang pengalaman imannya yang telah membawa atau membuatnya menjadi Rasul Kristus. Hal itu bukan sekedar kemauannya sendiri atau demi kemasyurannya sendiri, melainkan semata-mata demi kemuliaan nama Tuhan yang telah memanggil dan memilihnya menjadi rasul-Nya. Itulah sebabnya, ketika kesaksiannya itu ditolak, meskipun pembelaannya bisa diterima dan dimenangkan dalam pengadilan tersebut, Paulus tidak kecewa atau marah, melainkan ia mendoakan mereka agar mereka mampu memahami dan merasakan sendiri pengalaman iman seperti yang dialaminya. Pengalaman iman yang telah membawanya merasakan kemuliaan kasih Tuhan telah mendorong dirinya untuk membagikan dan mengundang orang lain untuk juga merasakan kuasa kasih dan kemuliaan-Nya. Hal ini tidak sama dengan sekedar “mempertobatkan” dan “membawa jiwa-jiwa kepada Kristus”. Ini adalah ungkapan syukur dan tindakan mengundang orang merasakan sendiri kuasa kasih-Nya. Sudahkah hal itu yang terjadi dalam pelayanan kita???????